Minggu, 22 Januari 2012

Senyum Untukmu Yang Lucu





Kupandangi wajah elok nan lugu itu.

Masih saja seperti  hari-hari yang telah berlalu,
senyum dan tawa itu tetap melekat di wajahnya yang ayu.







"Tante Laras" sapanya seraya berlari memelukku.
"Pagi Mentari"  kuulas senyum untuk Mentari yang lucu.
"Mentari senang, hari ini Tante mampir lagi di sini."
"Iya,,kebetulan Tante ambil cuti 3 hari,,"

Kuperhatikan sedari tadi Mentari asik dengan bola-bola woll di tangannya.

"Mentari mau bikin apa?" tanyaku.
"Ada dehhh,,,,"candanya
"Aduuhh peliit banget sii kamu,,gemez" kucubit pipinya yang tembem.
Dia mengaduh kesakitan lalu tertawa terpingkal-pingkal.

Sudah menjadi bagian dari rutinitas ku selama dua bulan terakhir ini untuk menghabiskan waktu dan bermain-main  bersama Mentari.
Walau masih kecil, tapi dari Mentari lah aku banyak belajar akan arti kekuatan.
Walau Mentari terlahir cacat dan kedua kakinya tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya,
namun Mentari tak pernah patah semangat.
Mentari tak pernah mengeluh, tak pernah terlihat letih,
walau Mentari kesepian dan merasa sedih setiap kali teman-teman mengolok-oloknya
namun Mentari tidak pernah membalas teman-temannya itu.

Mentari justru selalu berbinar ketika bercerita tentang:
si Bolang..yang suka menarik rambutnya,
si Ikal..yang suka mengunyah permen karet,
lalu menaruh permen karet itu di tembok selesai dikunyah,
si Bolot..yang doyan makan,
si Lora..yang penakut,
tapi diantara sekian banyak teman-temannya Mentari paling suka dengan Bulan,
karena selama ini cuma Bulan yang paling dermawan memberinya gula-gula.

"Mentari,,kalau sudah besar nanti mau jadi apa?Mau jadi dokter?"
 tanyaku sambil mengusap lembut poninya.
"Mana mungkin ada dokter yang cacat Tante Laras.." jawabnya.
glekh!
"Jadi guru?"
"Gak ah,,nanti pusing,,kalau murid-muridnya nakal kayak Bolang, Ikal, dan Bolot"
Hahahaha,,, 
kami tergelak bersama,,
Cantik,,
Mentari sangat cantik,,

"Lalu mau jadi apa?" tanyaku lagi bersemangat.
"Mentari ingin ketika sudah besar nanti, bisa seperti Ibu"
Ehhh...
"Kata Bu Guru, Ibu itu sosok yang lembut,,penuh kasih,,penyayang,,tidak pernah marah 
dan baik hati"

Lidahku mendadak kelu.
Mentari,
mana mungkin kamu ingin seperti Ibumu,
mengenalnya saja kamu belum.
Mentari...
Ibumu itu jahat, Ibumu itu tak punya hati,
Ia bahkan hendak membunuhmu..
Ia bermaksud menggugurkan kandungannya waktu itu..
Apa bagusnya...
kataku dalam hati.

"Tante... kenapa Tante menangis?
 Tante marah yaa sama Mentari?
 Mentari nakalin Tante yaa?
 Apa karena Mentari tidak kasih tahu, Mentari mau bikin apa dengan bola-bola woll ini?"
"Tante,jangan sedih...
 Mentari cuma mau bikin boneka.
 Satu untuk Ayah, satu untuk Ibu, satu untuk   Mentari.
 Mentari mau kasih boneka itu setelah Tuhan mempertemukan kami bertiga,
 atau Tante mau satu?"
jelas Mentari berapi-api sembari tersenyum lugu.


Mentari bagaimana mungkin aku mampu membalas senyumu itu..Aku malu.
Ini aku Ibumu
Ibu yang tak pantas kamu rindu
Ibu yang sempat tak menghendaki kehadiranmu karena tak tahu siapa ayahmu
Aku Ibumu,,
Ibu yang sudah membuangmu ke Panti Asuhan ini tujuh tahun lalu.


Senyum Untukmu Yang Lucu





Kupandangi wajah elok nan lugu itu.

Masih saja seperti  hari-hari yang telah berlalu,
senyum dan tawa itu tetap melekat di wajahnya yang ayu.







"Tante Laras" sapanya seraya berlari memelukku.
"Pagi Mentari"  kuulas senyum untuk Mentari yang lucu.
"Mentari senang, hari ini Tante mampir lagi di sini."
"Iya,,kebetulan Tante ambil cuti 3 hari,,"

Kuperhatikan sedari tadi Mentari asik dengan bola-bola woll di tangannya.

"Mentari mau bikin apa?" tanyaku.
"Ada dehhh,,,,"candanya
"Aduuhh peliit banget sii kamu,,gemez" kucubit pipinya yang tembem.
Dia mengaduh kesakitan lalu tertawa terpingkal-pingkal.

Sudah menjadi bagian dari rutinitas ku selama dua bulan terakhir ini untuk menghabiskan waktu dan bermain-main  bersama Mentari.
Walau masih kecil, tapi dari Mentari lah aku banyak belajar akan arti kekuatan.
Walau Mentari terlahir cacat dan kedua kakinya tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya,
namun Mentari tak pernah patah semangat.
Mentari tak pernah mengeluh, tak pernah terlihat letih,
walau Mentari kesepian dan merasa sedih setiap kali teman-teman mengolok-oloknya
namun Mentari tidak pernah membalas teman-temannya itu.

Mentari justru selalu berbinar ketika bercerita tentang:
si Bolang..yang suka menarik rambutnya,
si Ikal..yang suka mengunyah permen karet,
lalu menaruh permen karet itu di tembok selesai dikunyah,
si Bolot..yang doyan makan,
si Lora..yang penakut,
tapi diantara sekian banyak teman-temannya Mentari paling suka dengan Bulan,
karena selama ini cuma Bulan yang paling dermawan memberinya gula-gula.

"Mentari,,kalau sudah besar nanti mau jadi apa?Mau jadi dokter?"
 tanyaku sambil mengusap lembut poninya.
"Mana mungkin ada dokter yang cacat Tante Laras.." jawabnya.
glekh!
"Jadi guru?"
"Gak ah,,nanti pusing,,kalau murid-muridnya nakal kayak Bolang, Ikal, dan Bolot"
Hahahaha,,, 
kami tergelak bersama,,
Cantik,,
Mentari sangat cantik,,

"Lalu mau jadi apa?" tanyaku lagi bersemangat.
"Mentari ingin ketika sudah besar nanti, bisa seperti Ibu"
Ehhh...
"Kata Bu Guru, Ibu itu sosok yang lembut,,penuh kasih,,penyayang,,tidak pernah marah 
dan baik hati"

Lidahku mendadak kelu.
Mentari,
mana mungkin kamu ingin seperti Ibumu,
mengenalnya saja kamu belum.
Mentari...
Ibumu itu jahat, Ibumu itu tak punya hati,
Ia bahkan hendak membunuhmu..
Ia bermaksud menggugurkan kandungannya waktu itu..
Apa bagusnya...
kataku dalam hati.

"Tante... kenapa Tante menangis?
 Tante marah yaa sama Mentari?
 Mentari nakalin Tante yaa?
 Apa karena Mentari tidak kasih tahu, Mentari mau bikin apa dengan bola-bola woll ini?"
"Tante,jangan sedih...
 Mentari cuma mau bikin boneka.
 Satu untuk Ayah, satu untuk Ibu, satu untuk   Mentari.
 Mentari mau kasih boneka itu setelah Tuhan mempertemukan kami bertiga,
 atau Tante mau satu?"
jelas Mentari berapi-api sembari tersenyum lugu.


Mentari bagaimana mungkin aku mampu membalas senyumu itu..Aku malu.
Ini aku Ibumu
Ibu yang tak pantas kamu rindu
Ibu yang sempat tak menghendaki kehadiranmu karena tak tahu siapa ayahmu
Aku Ibumu,,
Ibu yang sudah membuangmu ke Panti Asuhan ini tujuh tahun lalu.